Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Sepasang mata berkali-kali lipat tertuju pada kertas putih yang tertempel di tembok. “Maan SKP sing ne nah?,” ketus seorang mahasiswa Universitas Udayana.
Begitulah skenario yang tertangkap di salah satu fakultas Universitas Udayana saat membaca pamflet acara seminar. “Maan SKP sing ne nah?”, yang jika di-Indonesiakan, “dapat SKP tidak ini ya?”, sudah tidak asing lagi di telinga I Putu Andika Suryanatha Budi Sentana, mahasiswa fakultas Pertanian. “Kalau nggak ada SKP, nggak banyak mahasiswa yang dateng. Padahal menurutku, SKP bisa dicari pelan-pelan. Malah yang seharusnya dikejar itu adalah SKS,” ujar Andika.
Pemberlakuan SKP dimunculkan sebagai perantara suatu sistem yang dapat menumbuhkembangkan minat dan mendorong mahasiswa agar mengikuti kegiatan. Karena pada awalnya, mahasiswa kurang memiliki minat untuk mengasah soft skill melalui kegiatan di luar akademik. Namun, pemahaman dan niat mahasiswa berkata lain. Kacamata mahasiswa pun cenderung memiliki pemikiran yang instan mengenai SKP. SKP malah dijadikan tujuan utama dalam kegiatan-kegiatan organisasi di fakultas ataupun di lingkup universitas. Bahkan seperti yang terlihat di lapangan, mahasiswa enggan untuk mengikuti organisasi tingkat universitas.
“Biar cepet, aku cuma nyari-nyari seminar-seminar yang ada SKP-nya. Kalau organisasi, males banget deh. Poin SKP untuk yang ikut organisasi juga nggak beda-beda jauh sama yang cuma ikut seminar. Jadi, mending ikut seminar aja,” beber mahasiswi Universitas Udayana yang tidak mau disebutkan identitasnya. Pengakuan tersebut adalah bukti bahwa mahasiswa kebanyakan tidak care terhadap kemampuan soft skill mereka.
Karena kurang pahamnya mahasiswa akan tujuan SKP, akhirnya mahasiswa tekun mengikuti kegiatan instan yang kurang mengembangkan kepemimpinan mahasiswa. Menurut Kadek Diah Pradnyani, selaku bendahara BEM Fakultas Pertanian, Universitas Udayana, kondisi mahasiswa yang sibuk dengan perkuliahan dan pandangan individual menjadi faktor yang mempengaruhi mahasiswa ke jalan instan untuk mengejar SKP.
“Menurutku, SKP itu ada lebih ada kurangnya sih. Lebihnya, ada partisipan walaupun kadang memaksa. Tapi secara nggak langsung mereka mendapatkan dampak positif dari kegiatan itu. Negatifnya, karena niat awal bukan untuk acaranya, jadinya kadang mereka yang cuma ngincer SKP jadi peracau,” jelas Diah.
Keaktifan yang mengandung proses belajar, dalam mematangkan mental dan fisik mahasiswa untuk terjun ke masyarakatlah yang diharapkan. Diah menganggap tujuan sistem SKP itu adalah untuk memberikan penghargaan atas partisipasi, kenang-kenangan, agar nantinya aktivitas organisasi berlanjut eksistensinya.
“Yang salah bukan SKP, tapi beberapa mahasiswa yang nggak sadar-sadar buat ikhlas berorganisasi. Salah panitia juga, tiap ada acara isi “full skp”. Ngajarin nggak bener. SKP bukan solusi, tapi perubahan paradigma orang tentang pentingnya sebuah kegiatan yang perlu dilakukan,” tambah Diah. Adanya perbedaan bobot point ekstern dan intern dalam setiap fakultas sering dipermasalahkan. Bahkan dianggap tidak fair. Namun, berbeda bagi Diah. “Kalau masalah poin, lebih baik otonomi per fakultas aja. Pedomannya dari rektorat. Soalnya, kegiatan tiap fakultas kan beda-beda. Keperluannya juga beda-beda. Kecuali untuk yang sifatnya umum pasti sama poinnya,” jelas Diah.
Pendapat yang sama juga diungkap Made Arya Bhaskara Putra, mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. “Kalau menurutku dibedain. Karena setiap fakultas perlu untuk mengasah soft skill yang beda-beda. Lagipula, SKP udah disesuaikan juga. Kalau sampai poin maksimal 200, skala pemberian SKP juga harus disesuaikan,” terang Arya.
Namun, jika dibandingkan, organisasi yang notabene memiliki rentang skala waktu yang lebih panjang dibandingkan kepanitiaan ataupun seminar, rata-rata dalam tiap fakultas memiliki poin SKP yang lumayan menjadikan sebuah ironi bagi mahasiswa. Contohnya saja, pada SKP Fakultas Pertanian. Menurut buku pedoman pelaksanaan SKP fakultas Pertanian, tertulis mahasiswa yang duduk dalam organisasi kemahasiswaan, yaitu: (a) sebagai Ketua Umum HMJ mendapatkan nilai 2 SKP, (b) sebagai Ketua Umum Lembaga Khusus Klorofil mendapatkan 2 SKP, (c) sebagai Ketua Umum BEM mendapatkan 3 SKP, (d) sebagai Ketua Umum BPM mendapatkan 4 SKP, sedangkan bagi yang duduk di kepengurusan, baik untuk HMJ, Khlorofil, BEM, dan BPM masing-masing diberikan penghargaan berturut-turut dengan bobot 1 SKP, 1 SKP, 2 SKP, 3 SKP. Sedangkan untuk bobot dalam mengikuti kepanitiaan ataupun seminar adalah 1 SKP. 
Bisa dibandingkan dengan kegiatan seminar, kepanitiaan, dan sebagainya, dengan waktu yang jauh lebih singkat bisa memperoleh banyak SKP. Cukup hanya duduk manis dalam tiga kali seminar, setara dengan penghargaan untuk Ketua BEM. Tidak diragukan lagi akibat yang terjadi di lapangan. Organisasi menjadi sepi peminat. Hanya dari kesadaran yang mempunyai pemikiran ke depan yang bisa merubah pola pikir SKP instan tersebut. Sadar bahwa SKP bukan semata sebagai prasyarat. Melainkan sebagai motivasi, media untuk memacu, dan media untuk meningkatkan aktivitas supaya tumbuh soft skill yang berkualitas. (alit)

Komentar

happy mengatakan…
yeyeye lalala ternyata mangkal di sini :)
Unknown mengatakan…
Orang bilang, jangan suka pukul rata semua orang.
Kan beda-beda juga masing2 kesibukan orang, gak semua bisa full time di kampus. banyak yg ortunya harus dirawat ato ad keperluan lain kan?
Anonim mengatakan…
How to play Baccarat - BetOnlineCasino.com
With a Baccarat game, all bets 카지노 are placed on the dealer's initial bet, and the dealer throws a ball into the hole. All febcasino bets must 인카지노 be placed

Postingan populer dari blog ini

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Pasar Mini Sehat Ala Sunday Community Market