Postingan

Menampilkan postingan dari April, 2010

Renungan Anak Manusia 16th

16th aku merasakan Kala mentari tenggelam, kala cahaya kemilau perlahan berganti merah jingga.., kala ombak menggulung lautan luas... KALA HIDUP PENUH TANDA ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ? ?… MUNGKIN, Hidup, Sebuah kata yang memikat pendengaran Kata yang meyakinkan setiap orang bahwa ada nafas disana Hidup, Untuk itu aku diciptakan agar BIJAKSANA Merasakan sesuatu seolah aku pemain peran Bahwa aku adalah ABDI TUHAN Mensyukuri butir demi butir padi masuk ketenggorokanku, Mensyukuri nafas terhembus dan terhisap pada hidung dan paru paru ku Mensyukuri jejak demi jejak yang menjadi bingkai hidupku Mensyukuri gelak tawa dan tangisan setiap waktu yang ku lewati, detik,menit dan jam Mensyukuri bahwa cacat dan normal adalah keseimbangan Mensyukuri bahwa kaya dan miskin adalah rotasi dimana keberpijakan Berfikir bahwa alam adalah media hidup itu sendiri dan berusaha menjaganya Hidup, Bahwa disana ada khilaf, Memaafkan, untuk sebuah khilaf maka kubelajar menjadi dewasa atas diri ku

“Ah, To Runguang”

Gambar
            Tempat yang indah pemandangan alamnya, unik tradisinya, dan tentunya mengasyikkan kalau dikunjungi. Begitulah tempat yang di cari-cari wisatawan.             Pulau Bali, merupakan satu diantara tempat yang diprimadonai oleh wisatawan. Berbagai julukan yang mengistimewakan diberikan untuk Pulau Bali tentunya. Bermacam-macam tradisi Bali dan keindahan alamnya menyihir orang luar sehingga membuat orang-orang tersebut berdecak kagum.             Namun, apakah mereka tahu dibalik keindahan alam dan tradisinya, Bali mempunyai sisi negatif. Masyarakat Bali telah menodai keistimewaan tempatnya sendiri. Ya. Tajen, merupakan tradisi turun-temurun dari zaman nenek moyang. Tradisi yang telah mendarah daging dan sulit untuk dimusnahkan. Tradisi tajen ini terkait dengan adat dan budaya. Tak heran, bagi masyarakat Bali dibenarkan dan tidak dilarang. Mengapa? Karena tajen adalah suatu kegiatan yang berhubungan dengan judi.             Masyarakat Hindu

Ketika Kepak Sayap Burung Pipit Menghilang

Gambar
“Klontang, klontang, klontang… Brrsssshhhh…” Bunyi kaleng bekas secara otomatis mengagetkan burung-burung yang ketika itu sedang asyik memakan bulir-bulir padi. Dan seketika itu pula burung-burung mengepakkan sayapnya dengan kompak.         Kaleng tersebut di ikat berjejer dengan tali. Setelah itu, di dalam kaleng tersebut diikat paku dan ujung dari ikatan tersebut diletakan dipinggir sawah atau di pinggir jalan. Jika di gerakan kaleng akan mengeluarkan suara “Klontang, klontang”. Sang petani begitu sabar menjaga lahannya. Sadar karena lahan tersebut merupakan sumber hidupnya dan keluarganya.        Ada juga di atas pematang sawah yang panjang, di sisi sepetak padi tersebut, anak-anak dengan semangatnya memainkan sebuah tali nylon yang diujungnya diikatkan dengan sebuah layang-layang. Angin semilir membuat layang-layang terbang dengan elok di atas hamparan padi yang tak lama lagi siap panen.        Begitu sejahteranya kehidupan di alam sawah saat it

bodoh.bodoh.bodoh

     Entah kenapa masalah itu terus menghampiri tanpa lelah dan kasihan melihat diriku yang tak berdaya ini. K uhempaskan tubuh ku di atas kasur dan di dalam kamar yang gelap gulita. Sengaja ku tak menghidupi lampu karena ku butuh ketenangan dalam kegelapan. Aku terus meratapi masalah ku dalam kegelapan berharap secercah sinar kan ku raih. Tapi itu semua nihil dan tak pernah bisa ku raih. Aku tidak tahu apa yang terjadi dan aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Setiap malam yang ku lalui, ku hanya bisa meratapi mas a lah yang hanya itu-itu saja dalam hidup ku. Tapi airmata tak pernah bosan untuk menitikkan airnya dan masalah itu selalu tertawa ketika ku menyerah darinya.        ”Aku bosan Tuhan, Engkau hanya memberiku masalah yang itu-itu saja seumur hidupku.. aku bosan.. aku ingin lari dari semua ini..!!!” teriakku sambil mengutuki masalah yang diberi sang Pencipta. Aku tidak peduli lagi dengan kataku apa itu baik atau tidak. Ak

Suara Kegelisahan Bali

Judul Buku : Saya Sungguh Mencemaskan Bali Penulis : I Dewa Gede Palguna, SH,MH Penerbit : Sekretariat Jendral dan Kepamiteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta Terbit : Agustus 2008 Tebal : xxii + 248 halaman       Bali, pulau kecil, padat, berisi. Lama sudah kita abaikan teriakan tertahan pulau ini, bahkan kita paksa untuk tetap tersenyum dan berkata, “It’s okey. Everything is gonna be alright”. Dalam keberhasilan Bali menjemput pertumbuhan ekonomi yang diguyurkan pariwisata, sehingga membuat Bali sibuk, hiruk pikuk, dan mentereng, yang akhirnya banyak persoalan muncul berbiak menjadi silang sengketa.      Buku “Saya Sungguh Mencemaskan Bali” yang ditulis oleh I Dewa Gede Palguna ini mendobrak paradigma tersebut. Ditinjau dari segi redaksional, buku ini menyodorkan banyak persoalan dihadapi Bali yang harus diatasi dengan penanganan menyeluruh. Kendati buku ini membeberkan kecemasan, kegelisahan, kebimbangan, tapi ia bukan buku yang murung. Di s

hidup yang ngasi artinya sendiri

Gambar
Entah aku tersadar atau tidak, menatap ke arah langit di malam hari dan tidak ada satu pun bintang yang tersenyum menyapaku malam ini. Sama seperti malam-malam sebelumnya, dan siang-siang kemarin. Kala aku menatap langit, hanya ada awan mendung. Awan mendung yang hitam, tapi tidak kunjung menurunkan hujan. Dan malam ini, langit hitam polos tanpa bintang. Membosankan, seperti jalan hidupku. Aku sedang mengalami kebingungan. Aku yang sudah sebesar ini belum mengerti artinya hidup. Aku tidak tahu apa aku sudah benar-benar menjalani hidupku dengan benar. Apa bisa aku menjalani hidupku tanpa tahu apa itu hidup. Tapi kenapa hanya aku sendiri saja yang kebingungan? Apa orang lain sudah mengerti arti hidupnya sementara aku belum? Aku benar-benar hidup dalam kegelapan jauh dari keramaian manusia. Belajar mencari arti hidup yang hakiki. Kehilangan demi kehilangan.. Kepedihan demi kepedihan... Telah datang dan pergi silih berganti, memaksaku melakukan semua ini. Aku mencari... Dan terus menc