Postingan

Menampilkan postingan dari November 17, 2010

Puisi Tersedih-Pablo Neruda [7]

Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini. Menulis, misalkan: “Malam penuh bintang,  dan bintang-bintang, biru, menggigil di kejauhan.”  Angin malam berpusing di langit dan bernyanyi. Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini. Aku mencintainya, dan kadang dia mencintaiku juga.  Pada malam seperti ini, aku peluk dia dalam rengkuhku.  Kucium dia berkali-kali di bawah langit tak terbatas.  Dia mencintaiku, kadang aku mencintainya.  Bagaimana bisa aku tak sangat mencintainya, mata yang tenang? Aku dapat menulis puisi tersedih dari segalanya malam ini. Berpikir aku tak memilikinya. Merasa aku kehilangan dia.  Mendengar keluasan malam, lebih luas tanpa dia. Dan puisi itu jatuh ke jiwa seperti embun ke rumputan.  Apa yang terjadi hingga cintaku tak mampu menjaganya.  Malam penuh bintang dan dia tak bersamaku.  Begitulah. Nun, seseorang bernyanyi. Nun.Jiwaku lenyap tanpanya.  Andai dia dekat, mataku mencarinya.  Hatiku mencarinya dan dia tak bersamaku. Malam yan

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Aku tak mencintaimu seolah-olah kau adalah serbuk mawar, atau batu topaz, atau panah anyelir yang menyalakan api. Aku mencintaimu seperti sesuatu dalam kegelapan yang harus dicintai, secara rahasia, diantara bayangan dan jiwa. Aku mencintaimu seperti tumbuhan yang tak pernah mekar tetapi membawa dalam dirinya sendiri cahaya dari bunga-bunga yang tersembunyi; Terimakasih untuk cintamu suatu wewangian padat, bermunculan dari dalam tanah, hidup secara gelap di dalam tubuhku. Aku mencintaimu tanpa tahu mengapa, atau kapan, atau darimana Aku mencintaimu lurus, tanpa macam-macam tanpa kebanggaan; Demikianlah aku mencintaimu karena aku tak tahu cara lainnya Beginilah: dimana aku tiada, juga kau, Begitu dekat sehingga tanganmu di dadaku adalah tanganku, Begitu dekat sehingga ketika matamu terpejam akupun jatuh tertidur.

Soneta LXVI-Pablo Neruda [5]

Aku tidak mencintaimu kecuali karena aku mencintaimu; aku pergi dari mencintaimu menjadi tidak mencintaimu, dari menunggu menjadi tidak menunggu dirimu hatiku berjalan dari dingin menjadi berapi. Aku mencintaimu hanya karena kamulah yang aku cinta; aku membencimu tanpa henti, dan membencimu bertekuk kepadamu dan besarnya cintaku yang berubah untukmu adalah bila aku tidak mencintaimu tetapi mencintaimu dengan buta. Mungkin cahaya bulan Januari akan memamah hatiku dengan sinar kejamnya, mencuri kunciku pada ketenangan sejati. Dalam bagian cerita ini hanya akulah yang mati, hanya satu-satunya, dan aku akan mati karena cinta karena aku mencintaimu. karena aku mencintaimu, cintaku, dalam api dan dalam darah.

Soneta XXV-Pablo Neruda [4]

Sebelum aku mencintaimu, cinta, tiada ada yang menjadi milikku: Aku melambai melalui jalan-jalan, di antara benda-benda: tiada ada yang berarti ataupun mempunyai sebuah nama: dunia terbuat dari udara, yang menunggu. Aku mengenal kamar-kamar yang penuh oleh debu, terowongan dimana bulan hidup, gudang-gudang kasar yang menggeram Pergilah, pertanyaan yang memaksa di dalam pasir. Semua adalah kekosongan, mati, bisu, jatuh, terlantar dan membusuk: tidak diragukan asing, semuanya. milik orang lain –tidak pada siapapun: sampai kecantikanmu dan kemiskinanmu dipenuhi oleh musim gugur yang penuh dengan hadiah.

Tiada Selain Kematian-Pablo Neruda [3]

Adalah kuburan yang kesepian, makam yang penuh dengan tulang belulang yang tak berbunyi, hati yang berjalan melalui sebuah terowongan, seperti bangkai kapal kita akan mati memasuki diri kita sendiri, seakan-akan kita tenggelam dalam hati masing-masing seakan-akan kita hidup lepas dari kulit kedalam jiwa. Dan adalah mayat-mayat, kaki yang terbuat dari tanah liat yang dingin dan lengket, kematian ada di dalam tulang-tulang, seperti gonggongan dimana tiada anjing-anjing, keluar dari bel entah di mana, dari makam entah di mana, tumbuh di dalam udara lembab seperti tangisan hujan. Terkadang aku melihat sendiri, peti mayat yang sedang berangkat, dimulai dengan kepucatan kematian, dengan wanita yang memiliki rambut mati, dengan tukang-tukang roti yang seputih malaikat, dan gadis-gadis muda yang termenung menikah dengan notaris publik, peti mati melayari vertikal sungai kematian, sungai berwarna ungu gelap, menyusuri hulu dengan layar-layar yang berisikan suara-suara kematian, berisikan suara

Soneta LXXIII-Pablo Neruda [2]

Mungkin saja kau akan teringat dengan pria bermuka cukur yang keluar dari kegelapan seperti pisau dan – sebelum kita sadar – tahu apa yang ada di situ: dia melihat asap dan api terakhir. Perempuan yang pucat dengan rambut hitam mawar seperti ikan dari jurang, dan keduanya membangun sebuah alat yang aneh. bersenjata sampai dengan gigi, melawan cinta. Laki-laki dan perempuan, mereka menjatuhkan gunung-gunung dan taman-taman, mereka menyusuri sungai, mengukur dinding, mereka menaikkan persenjataan kejamnya pada bukit. Dan cinta mengetahui dipanggil cinta dan sewaktu aku mengangkat mataku pada namamu, tiba-tiba hatimu menunjukkanku jalanku.

Bersandar pada Senja-Pablo Neruda [1]

Sewaktu bersandar pada senja, kutebarkan jala dukaku ke lautan matamu. Di sana, kesepianku membesar dan membakar dalam marak api maha tinggi tangannya menggapai bagai orang lemas. Kukirim isyarat merah ke arah matamu yang hampa yang menampar lembut seperti laut di pantai rumah api. Kau jaga hanya kegelapan, perempuanku yang jauh pantai ketakutan kadang-kadang muncul dari renunganmu. Sewaktu bersandar pada senja, kucampakkan jala dukaku ke laut yang mengocak lautan matamu. Burung-burung malam mematuk pada bintang-bintang pertama yang mengerdip seperti kalbuku ketika menyintaimu. Malam menunggang kuda bayangan sambil menyelerakkan tangkai-tangkai gandum biru di padang-padang. Pablo Neruda (1904-1973), penyair Chile pemenang Hadiah Nobel 1971 Diterjemahkan oleh Wan A. Rafar dari terjemahan Inggeris oleh Mark Eisner sumber :  http://jendeladankemeja.blogspot.com