Taktik Sang Penabur Iklan

Baliho raksasa tertancap kokoh di pinggir jalan. Saling menjatuhkan produk lain. Seolah tinggal menunggu beberapa baliho raksasa saling silang pedang.
Memang, dalam era sekarang hidup akan sepi tanpa iklan. Begitu juga bagi sebuah perusahaan. “Menabur iklan” bagi perusahaan kian penting dan wajib untuk mengisi “brangkasnya”. Karena menabur iklan semakin marak, tak segan-segan perusahaan tertentu mematok biaya yang keluar lebih tinggi dibanding biaya yang masuk. Berjuang menabur iklan lantaran memperkenalkan produk hingga terkenal dan berdaya jual tinggi. Akhirnya, etika bisnis dalam menabur iklan pun harus dipahami betul oleh pihak produsen. Bagaimana tidak? Hal tersebut dilakukan agar masyarakat tidak merasa tertipu oleh kata-kata yang “omong kosong”.
Nah, ketika berbicara mengenai etika bisnis dalam menabur iklan, seakan pembicaraan menjadi bersifat abstrak didengar. Kenapa? Karena ada dua hal yang perlu dimengerti mengenai etika bisnis, yaitu pemahaman tentang kata etika dan bisnis. Etika merupakan seperangkat kesepakatan umum yang mengatur hubungan antar individu, individu dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat. Dengan kata lain, etika sangat diperlukan untuk menciptakan hubungan yang tidak saling merugikan. Dalam iklan beretika di dunia bisnis terdapat pula seperangkat aturan yang mengatur relasi antar pelaku bisnis. Perangkat aturan ini dibutuhkan agar hubungan bisnis yang terjalin berlangsung fair.
Akhirnya, muncullah Fair Trade yang bertekad menjadikan perdagangan yang adil dan beretika. Dengan kata lain, sebagai perdagangan alternatif yang berpihak kepada produsen miskin melalui penerapan prinsip keadilan, transparansi, komunikasi, saling menghargai, dan keadilan gender. Fair trade pun cukup efektif sehingga memberikan pengaruh terhadap perekonomian di Indonesia.
Namun realitanya, para pelaku iklan dalam dunia bisnis terkadang tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religiusitas, seringkali kalah dalam upaya maksimalisasi laba melalui sikap yang individualistis melalui konflik dan persaingan yang tidak sehat dalam periklanan.
Untuk mengantisipasi ketidak-fair-an tersebut, maka tradisi beriklan pun  dapat disyaratkan oleh tiga aspek penting, yaitu : Etis, Estetis, dan Estetika. Nah, dalam aspek etis diartikan sebagai sebuah kepantasan iklan tersebut ditayangkan. Secara etika memang harus memuat sesuatu yang jujur, tetapi bukan lalai dengan ke-etis-an iklan tersebut. Sebagai contoh, produsen mengiklankan produk obat kuat dalam berhubungan suami-istri, tidak mungkin produsen memperlihatkan adegan layaknya suami-istri secara utuh. Karena hal tersebut juga berkaitan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat. Sehingga dapat disimpulkan, sebuah iklan harus menampilkan sesuatu yang pantas, yang sarat akan norma atau kaidah yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu, etis juga dapat didukung oleh fakta-fakta yang bersifat subjektif. Tidak dalam bentuk pernyataan yang superlatif, contohnya “termurah”.
Aspek kedua yakni estetis. Estetis maksudnya kelayakan sebuah iklan yang memperhatikan kepada siapa dan kapan harus ditayangkan. Misalnya dalam produk rokok. Produsen sepantasnya menayangkan iklannya di saat anak kecil sudah tidur, karena iklan itu hanya ditujukan untuk orang dewasa. Aturan iklan rokok pun membatasi semua yang berbau rokok untuk tayang di atas jam 22.30 sebagaimana diatur dalam PP Nomor 50 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Swasta. Selanjutnya, aspek ketiga adalah estetika. Estetika maksudnya suatu daya tarik yang ada dalam sebuah iklan dan tentunya tidak membosankan bagi masyarakat.
Namun, atas dasar tersebut bukannya periklanan menjadi baik dalam etika-nya. Malah timbul berbagai cara yang dilakukan perusahaan dalam menyukseskan “menabur iklan”. Seakan-akan persaingan iklan mengatakan “siapa yang kuat, dia yang menang”. Iklan yang berfungsi sebagai media untuk mempengaruhi target khalayak agar mau mendukung suatu produk/jasa secara terus-menerus, akhirnya dijalankan dengan cara yang kurang etis, melakukan Pelanggaran Etika Pariwara Indonesia (EPI).
Satu dari ciri iklan pelanggaran EPI yang mempunyai kemampuan dalam menarik hati pelanggan adalah dalam iklan yang bertanda asterisk (*). Nah, iklan yang bertanda asterisk itu pun merupakan obat yang sangat mujarab dalam menjerat pelanggan. Bagaimana tidak? Sang penabur iklan sengaja mengecoh konsumen dengan meng’gamang’kan tanda asterisk yang menunjukkan hanya produk tertentu saja, misalnya. Selain itu dengan iming-iming “iklan berhadiah bagi 1000 pembeli pertama”, “iklan bersyarat dan ketentuan berlaku”, “iklan berbonus pulsa”, “iklan hanya barang tertentu”, dan banyak lagi lainnya.
Fakta yang sering ditemui adalah perang baliho raksasa operator seluler yang saling menjatuhkan. Hmmm... Sungguh ironis memang. Menurut etika formal dan informal, praktik-praktik semacam ini jelas melanggar etika terutama berkaitan dengan kejujuran. Transaksi jual beli seharusnya menjunjung tinggi norma-norma baik yang berlaku di masyarakat, seperti pelayanan yang baik dan ramah, kejujuran, serta menghindari praktik-praktik penipuan maupun kebohongan publik.
Dari sisi legal formal, praktek-praktek tersebut jelas melanggar Undang-undang No. 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 10 menyatakan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; kegunaan suatu barang dan/atau jasa; kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
Nah, dalam hal ini, prinsip pembeli sebetulnya mudah saja kalau berhasrat menginginkan barang dengan harga diskon. Belilah barang yang benar-benar sudah tahu dan perlu untuk dimiliki. Tanpa pengetahuan, pembeli sering “tertipu”. Intinya, mana ada penjual yang mau merugi atas barang dagangan yang dijajakan, sekecil apa pun ongkos yang mesti dikeluarkan untuk beriklan. (alt)
***tulisan ini ditulis dalam rangka mengikuti lomba essay yang diadakan KAMPOENG FAIR TRADE yang bertema "Perdagangan yang Beretika". :D

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Pasar Mini Sehat Ala Sunday Community Market