Ketika Tanah Warisan Diperjualbelikan Kepada Orang Luar


“Ojek… Ojek…” Beberapa tukang ojek mendekati, berteriak menawarkan jasa ketika orang-orang turun dari sebuah jukung dan mendaratkan kaki di Pelabuhan Toya Pakeh, Nusa Penida.
            Matahari menyumbangkan panasnya kepada pulau  terpencil tersebut. Pantas saja, penduduk di Pulau Nusa Penida mayoritas berkulit gelap karena ulah sang matahari. Memang, sebagian besar orang luar menganggap Nusa Penida sebagai sebuah tempat yang kering dan tandus.
Sekian menit menyusuri jalanan di Pulau Nusa Penida yang begitu terjal serta tanah yang berkapur, terlihat di pinggir jalan berdiri rumah-rumah gubug. Gubug tersebut tak lain adalah sebuah tempat yang dipakai untuk menyimpan hasil panen rumput laut. Terlihat juga jemuran-jemuran rumput laut membentang yang diwadahi dengan terpal di depan gubug. Ya. Saat ini, masyarakat Nusa Penida bermata pencaharian rumput laut.
Perlu diketahui bahwa, masyarakat Nusa Penida pada tahun 80’an, dominan berkutat di sektor perikanan dan perkebunan. Padahal, secara alamiah potensi yang ditemukan sudah tersedia sejak dulu kala, yakni rumput laut. Sumber daya alam yang ternyata cocok dikembangkan di perairan Nusa Penida itu, mulai digeliatkan masyarakat.
”Dulu, kehidupan di sini serba berkecukupan. Waktu saya kecil, saya pergi sekolah dengan ditemani sapi-sapi. Saya ke sekolah sambil menggembala sapi. Itupun jarak dari rumah saya sampai sekolah hingga mencapai 6 km”, kenang I Wayan Durma yang dulunya tinggal di Nusa Penida, tapi sekarang bertempat tinggal di Denpasar sebagai warga banjar dinas.
Di pulau ini tidak ada sawah. Jelas saja, dengan kondisi matahari yang menyengat pulau terpencil ini, mustahil kegiatan bertani bisa berjalan. Air tawar saja didapatkan dari sumur yang begitu dalam, itupun hanya ada di tempat-tempat tertentu. ”Sekarang sudah ada PAM. Dulu, ketika hujan, warga Nusa Penida menampung air hujan yang turun dari genteng”, curhat Durma.
Sudah sepantasnya, sesuai perkembangan zaman, Pulau Nusa Penida mulai ada kemajuan. Sepuluh tahun yang lalu, sarana transportasi laut dari dan ke Nusa Penida sangatlah terbatas. Yang ada hanyalah jukung-jukung kecil bermesin seadanya, juga perahu-perahu barang yang sekalian mengangkut penumpang. Sungguh ironis kalau menyangkut nyawa penumpang. Itu dulu, bagaimana dengan sekarang? Semenjak adanya sarana penyeberangan kapal ferry roro Nusa Penida-Padang Bai, perekonomian di pulau tersebut mulai menggeliat. Tourist-tourist mancanegara pun berdatangan ke pulau terpencil tersebut. Meskipun kondisi Nusa Penida yang kering dan panas, namun, kondisi perairan di Nusa Penida menyajikan suatu keindahan yang membelalakkan mata. Pantai yang sangat eksotik dan tenang dari kebisikan kota.
Namun, dari segi mental, penduduk setempat belum sepenuhnya siap terhadap kemajuan perekonomian. Budaya jual tanah warisan berkembang pesat. ”Warga lokal menjual tanahnya meroket bisa mencapai Rp. 100 jt/are. Parahnya lagi, di daerah dataran tinggi, ada yang menjual tanahnya bukan lagi dengan satuan are melainkan dengan satuan bukit”, beber Durma yang mencemaskan kondisi masyarakat Nusa Penida. Kalau seperti itu permasalahannya, lama-lama orang lokal bisa menjadi orang asing di daerahnya sendiri. Banyak orang kaya baru juga bisa dilihat dari perubahan gaya hidup. Dulu, paling untung bisa lihat mobil kijang plat merah milik Pak Camat, sekarang Avanza sudah bukan barang mewah lagi. Beberapa mobil mewah pun berseliweran tak jelas.
Ironis memang. ”Saya bukannya tak senang dengan keadaan ekonomi Nusa Penida yang telah maju, tapi, bayangkan saja kalau orang luar menguasai daerah kita, bisa-bisa kebudayaan kita juga dirampasnya”, cemas Durma. Kalau seperti ini permasalahannya, hanya kesadaran dari diri sendiri saja. Siapa lagi yang bisa menjaga tanah Bali kalau bukan kita. (alt)

Komentar

Anonim mengatakan…
Hi...jenius...
ijinkan aku untuk menggoreskan sekapur sirih di kolom komentar ini, walau hanya singkat dan tidak mempunyai makna yang mendalam dibandingkan punyamu....
aku suka statement-mu tentang pulau karang tersebut...
emang suatu fenomena yang cukup menarik jika kita ikuti perkembanganya dari hanya sebagai pulau yang sepi dan tandus berubah menjadi pulau yang lambat laun menarik minat "orang-orang"...
mungkin suatu saat penduduk nusa penida hanya sebagai tamu di tanah kelahirannya, karena tanah2 mereka direlakan untuk orang luar yang hanya ingin meraup keuntungan dari pulau kecil ini yang pada mulanya hanya sebuah pulau yang tak terindahkan...
"KENAPA HAL TERSEBUT BISA TERJADI DAN SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB ATAS SEMUANYA ITU?"...
alit samuh mengatakan…
hhho... terima kasih atas pujian yg km kasi..
tp aku ga sehebat yg km pikirkan... :D

tentang pertanyaan di kaLimat terakhir itu, jwabannya kan udah ada di bacaan ku di atas...

hhiii....
sekaLi Lg terimakasih udah mampir yyaaa... :D

Postingan populer dari blog ini

Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Pasar Mini Sehat Ala Sunday Community Market