Ketika Kepak Sayap Burung Pipit Menghilang


“Klontang, klontang, klontang… Brrsssshhhh…” Bunyi kaleng bekas secara otomatis mengagetkan burung-burung yang ketika itu sedang asyik memakan bulir-bulir padi. Dan seketika itu pula burung-burung mengepakkan sayapnya dengan kompak.
        Kaleng tersebut di ikat berjejer dengan tali. Setelah itu, di dalam kaleng tersebut diikat paku dan ujung dari ikatan tersebut diletakan dipinggir sawah atau di pinggir jalan. Jika di gerakan kaleng akan mengeluarkan suara “Klontang, klontang”. Sang petani begitu sabar menjaga lahannya. Sadar karena lahan tersebut merupakan sumber hidupnya dan keluarganya.
       Ada juga di atas pematang sawah yang panjang, di sisi sepetak padi tersebut, anak-anak dengan semangatnya memainkan sebuah tali nylon yang diujungnya diikatkan dengan sebuah layang-layang. Angin semilir membuat layang-layang terbang dengan elok di atas hamparan padi yang tak lama lagi siap panen.
       Begitu sejahteranya kehidupan di alam sawah saat itu. Saat itu maksudnya, sepuluh tahun yang lalu. Wisatawan mancanegara datang berlibur ke Bali untuk merasakan alam dan budaya masyarakat Bali yang tidak dapat dijumpai di negara asal mereka. Wisatawan bertamu ke Bali untuk melihat sistem subak, sawah terasering, serta pemandangan alam yang begitu luar biasa.
        Namun kini, semua itu nyaris tidak dapat ditemui lagi. Pelaku ”menjamah” lahan petani. Seiring dengan menghilangnya sawah, maka lenyap pula komunitas petani. Miris hati melihat keadaan ini. Sang petani kehilangan sumber penghidupannya. Alhasil, lambat laun, budaya agraris sebagai sumber penghidupan tak lagi disandarkan pada pertanian. Berganti baju menjadi villa mewah dan hotel. "Kalau semakin banyak vila-vila mewah atau bangunan lainnya di tengah-tengah sawah terasering, sudah pasti akan memotong jalur air, dan air yang seharusnya untuk subak serta pertanian akhirnya habis hanya untuk vila saja," beber Ir. I Wayan Durma, selaku Kasubdin Pengolahan dan Pemasaran Hasil di bidang Pertanian.
        Petani nyambi (bekerja pada lahan orang lain) diakibatkan hanya karena nafsu. Nafsu terhadap suatu hal yang membuat kekhasan Bali menjadi hancur. Durma menegaskan, “Orang Bali mesti merubah cara pandang, tentang makna kemajuan dan kemakmuran. Jangan mengukur kemajuan dari gedung-gedung megah yang dibangun. Apalagi sampai mengambil lahan pertanian. Salah besar,” ujar Durma. Kalau itu yang terjadi, bukan mustahil klontang-klontang pengusir burung dan kepak sayap burung Pipit tak akan lagi terdengar. Ups! (alt)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Pasar Mini Sehat Ala Sunday Community Market