Suara Kegelisahan Bali

Judul Buku : Saya Sungguh Mencemaskan Bali
Penulis : I Dewa Gede Palguna, SH,MH
Penerbit : Sekretariat Jendral dan Kepamiteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Terbit : Agustus 2008
Tebal : xxii + 248 halaman


      Bali, pulau kecil, padat, berisi. Lama sudah kita abaikan teriakan tertahan pulau ini, bahkan kita paksa untuk tetap tersenyum dan berkata, “It’s okey. Everything is gonna be alright”. Dalam keberhasilan Bali menjemput pertumbuhan ekonomi yang diguyurkan pariwisata, sehingga membuat Bali sibuk, hiruk pikuk, dan mentereng, yang akhirnya banyak persoalan muncul berbiak menjadi silang sengketa.
     Buku “Saya Sungguh Mencemaskan Bali” yang ditulis oleh I Dewa Gede Palguna ini mendobrak paradigma tersebut. Ditinjau dari segi redaksional, buku ini menyodorkan banyak persoalan dihadapi Bali yang harus diatasi dengan penanganan menyeluruh. Kendati buku ini membeberkan kecemasan, kegelisahan, kebimbangan, tapi ia bukan buku yang murung. Di sana-sini kita justru memperoleh kebangggaan, keyakinan, dan percaya diri yang tinggi dari manusia-manusia Bali. Memang, banyak kecemasan dilontarkan dalam buku ini, tetapi tidak dengan menuding-nuding, tidak dilampiaskan dengan amarah dan bentakan. Buku ini tidak menyodorkan resep ataupun siasat-siasat khusus penyelamatan Bali, atau mengantar ke gerbang kemakmuran dan kedigjayaan. Melainkan, mengikuti tulisan-tulisan buku ini dari awal sampai akhir, pembaca akan sampai pada endapan renungan.
      Dari kajian-kajian yang ia lakukan dan dikumpulkan dalam buku ini, kita bisa mendapatkan alur lurus yang tegas dan nyata : kecintaan dan pencermatan terhadap tanah tumpah darah yang kemudian membuahkan kegundahan. Dari segi artistik, dikemas dengan tampilan layout gambar dan warna begitu sesuai dengan judul yang bernuansakan suatu kecemasan. Buku yang berukuran 14,7 x 22,5 cm ini menggunakan kertas HVS 60 gr pada halaman isi dan pada cover menggunakan kertas yang cukup tebal yang kedap air.
       Namun, tak ada gading yang tak retak, buku ini sudah ditata apik dengan kata-kata yang tak terlalu baku tapi tetap sopan. Namun, di sela-sela kalimat, terdapat kata-kata yang susah dimengerti. Terutama bagi pembaca remaja. Yah, buku ini memang lebih pantas dibaca oleh kaum intelek dari sisi bahasa yang digunakan. Meskipun demikian, buku ini bisa menjadi contoh bagi kaum intelektual Bali untuk menyuarakan hati nurani dan keinginan bangsanya, agar dunia lebih yakin akibat guncangan tragedi yang mengaduk-aduk Bali, karena disuarakan oleh orang-orang yang melakoni. (alt)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Soneta XVII-Pablo Neruda [6]

Fenomena Sampah di Negeri Spiritual