Orang-Orangan Sawah VS Beton Angkuh
Lima
belas tahun ke belakang, burung-burung pipit masih merasakan surga di hamparan
padi yang sangat luas. Sejauh mata memandang, masih nampak orang-orangan sawah
berdiri dengan gagahnya di sudut-sudut pematang sawah. Sungguh sebuah kenangan
yang indah dan menentramkan. Kenangan? Ya, ini hanya sebuah kenangan, karena orang-orangan
sawah yang dulu berdiri dengan gagahnya kini
telah terinjak oleh bangunan-bangunan yang berdiri dengan angkuhnya.
Gelar
Pulau Bali sebagai Pulau Dewata, Pulau Surga, dan Pulau Seribu Pura yang
menarik banyak wisatawan telah menjadi peluang bagi investor untuk
berlomba-lomba menanamkan usahanya di Bali. Alhasil, hotel, villa, restoran dan
pendukung lainnya bermunculan di setiap sudut tempat di Bali. Kompetisi para investor
inilah yang memicu terjadinya
penyempitan lahan pertanian di Bali.
Sungguh
ironis melihat kenyataan lahan pertanian di Bali berganti baju menjadi bangunan
beton hingga 1000 hektar per tahun. Masing-masingnya sekitar 800 hektar terjadi
pada lahan sawah dan 200 hektar pada lahan perkebunan. Sawah yang tersisa pun
kini dikepung oleh beton-beton yang menyebabkan kerusakan pada saluran irigasi.
Melihat keadaan ini, cepat atau lambat lahan pertanian yang tersisa pasti akan
mengikuti jejak sawah-sawah yang lebih dulu tergusur.
Menurut
penelitian dan pengkajian yang dilakukan SCETO pada tahun 1975, Bali seharusnya
memiliki maksimal 24.000 kamar hotel berbintang sebagai upaya menjaga
keseimbangan daya dukung Bali. Namun kenyataannya kini, Bali memiliki 70.000
kamar hotel berbintang atau tiga kali lipat daya dukung yang ada. Belum lagi
dengan ribuan vila yang fasilitasnya hampir sama dengan hotel. Dengan kata
lain, alih fungsi lahan dengan tangan para investor tersebut adalah tak lain
karena berbagai kepentingan pembangunan, terutama bidang pariwisata. Lucunya,
demi kepentingan pariwisata itulah yang justru menjadi akar untuk menghancurkan
pariwisata itu sendiri.
Kondisi
atau dorongan ekonomi juga bisa menjadi motivasi atau faktor pendorong petani
untuk mengalihfungsikan lahannya. Biaya untuk bertani dengan penghasilan yang
didapat tidak seimbang. Akhirnya, tanpa pikir panjang, petani pemilik sawah tergoda
dengan tawaran harga tinggi. Akibatnya tentu saja merembet pada penurunan produksi
padi yang mengganggu tercapainya swasembada pangan. Yang paling ironis, Bali
sebagai pemilik aset pertanian dengan sistem subak, lambat laun akan hilang. Otomatis
keunikan seni budaya akan hilang juga karena subak selama ini memiliki fungsi
ganda, yaitu sebagai aset keunikan budaya yang telah dikenal dunia
internasional.
Di
satu sisi pemerintah terlihat berupaya melarang terjadinya alih fungsi lahan
pertanian, namun di sisi lain malah nampak mendorong melalui kebijakan
pertumbuhan industri/manufaktur dan sektor nonpertanian lainnya yang dalam
kenyataannya menggunakan tanah pertanian. Maka dari itu diperlukan sebuah
pendekatan untuk kepentingan pengadaan pangan, misalnya dengan mengendalikan
pelepasan hak pemilikan lahan petani kepada pihak lain. Karena sesungguhnya,
membangun Bali dan pemerataan perekonomian Bali tidaklah mutlak dilakukan
dengan pariwisata. Selain itu dapat pula dilakukan dengan mengendalikan dampak
alih fungsi lahan tanaman pangan terhadap keseimbangan pengadaan pangan.
Pemerintah sebaiknya mulai membangun pertanian
yang mampu bersaing di tengah derasnya arus globalisasi saat ini, jika memang
pemerintah ingin mempertahankan Bali sebagai Pulau Dewata ataupun Pulau Surga.
Kalau itu tidak dapat dikendalikan, bukan mustahil jika Bali yang sebagai Pulau
Surga, tak lagi surga karena kenyataannya neraka sudah di depan mata. Dan bukan
mustahil bila beton angkuh yang sebagai malaikat neraka akan menang melawan
orang-orangan sawah yang tak lain sebagai malaikat di hamaparan lahan surga. (alit)
Komentar