Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2012

Cari SKP, kok Cap Cip Cup ?

Gambar
Sepasang mata berkali-kali lipat tertuju pada kertas putih yang tertempel di tembok. “Maan SKP sing ne nah?,” ketus seorang mahasiswa Universitas Udayana. Begitulah skenario yang tertangkap di salah satu fakultas Universitas Udayana saat membaca pamflet acara seminar. “ Maan SKP sing ne nah? ”, yang jika di-Indonesiakan, “dapat SKP tidak ini ya?”, sudah tidak asing lagi di telinga I Putu Andika Suryanatha Budi Sentana, mahasiswa fakultas Pertanian. “Kalau nggak ada SKP, nggak banyak mahasiswa yang dateng . Padahal menurutku, SKP bisa dicari pelan-pelan. Malah yang seharusnya dikejar itu adalah SKS,” ujar Andika. Pemberlakuan SKP dimunculkan sebagai perantara suatu sistem yang dapat menumbuhkembangkan minat dan mendorong mahasiswa agar mengikuti kegiatan. Karena pada awalnya, mahasiswa kurang memiliki minat untuk mengasah soft skill melalui kegiatan di luar akademik. Namun, pemahaman dan niat mahasiswa berkata lain. Kacamata mahasiswa pun cenderung memiliki pemikiran yang ins...

Lulus Cepat, Soft Skill Rendahan? Neng Nongg…

SKP yang diamini supaya meminimalisir mahasiswa yang sekadar pulang-kuliah-pulang-kuliah, sehingga memiliki soft-skill kuat, sepertinya mengalami pergeseran pemahaman. Betapa tidak, SKP dijadikan sebagai target utama mahasiswa dalam  mengikuti suatu kegiatan. Dengan  kata lain, jika suatu kegiatan yang tidak dibarengi atau berlabelkan SKP, maka mahasiswa sedikit kemungkinan akan mengikuti kegiatan tersebut. Begitupun sebaliknya, jika kegiatan tersebut berlabelkan SKP, tanpa harus berpikir panjang pun, mahasiswa dengan senang hati untuk datang. Namun, untuk “datang” saja. Dengan paradigma yang sifatnya memaksa seperti itulah, SKP telah menyihir mahasiswa dengan dalih prasyarat mengikuti yudisium, SKP menjadi primadona bagi yang haus nafsu tanpa mempertanggungjawabkan latar belakang kegiatan yang berlabel SKP tersebut. Keaktifan dalam kegiatan atau organisasi sebenarnya dilakukan untuk menambah pengalaman, melatih fisik, serta mematangkan mental mahasiswa, agar nantinya bisa...

Orang-Orangan Sawah VS Beton Angkuh

Gambar
Lima belas tahun ke belakang, burung-burung pipit masih merasakan surga di hamparan padi yang sangat luas. Sejauh mata memandang, masih nampak orang-orangan sawah berdiri dengan gagahnya di sudut-sudut pematang sawah. Sungguh sebuah kenangan yang indah dan menentramkan. Kenangan? Ya, ini hanya sebuah kenangan, karena orang-orangan sawah yang dulu  berdiri dengan gagahnya kini telah terinjak oleh bangunan-bangunan yang berdiri dengan angkuhnya. Gelar Pulau Bali sebagai Pulau Dewata, Pulau Surga, dan Pulau Seribu Pura yang menarik banyak wisatawan telah menjadi peluang bagi investor untuk berlomba-lomba menanamkan usahanya di Bali. Alhasil, hotel, villa, restoran dan pendukung lainnya bermunculan di setiap sudut tempat di Bali. Kompetisi para investor inilah yang memicu terjadinya  penyempitan lahan pertanian di Bali. Sungguh ironis melihat kenyataan lahan pertanian di Bali berganti baju menjadi bangunan beton hingga 1000 hektar per tahun. Masing-masingnya sekitar 800 h...