Barangkali “Perkembangan” UN dalam Perkubangan
Oleh: Ni Nyoman Alit Purwaningsih
"Standar nasional pendidikan di negeri ini
mensyaratkan adanya standar isi, proses, pendidik, sarana, pengelolaan, dan
pembiayaan, sebelum akhirnya berbicara tentang standar penilaian (evaluasi)
pendidikan.” -St.
Kartono-
Barangkali, persoalan UN menjadi topik perbincangan
hangat sekarang. Tragedi. Begitulah kata yang tepat dilontarkan untuk kegagalan
UN kali ini. Bukan hanya carut marut lagi, namun sudah gagal. Kegaduhan
persoalan UN di setiap tahunnya memang sudah ada. Persoalan bocornya soal,
peserta mencontek, soal tertukar, adanya joki UN, dan persoalan lainnya memang
menjadi persoalan jamak setiap tahun. Apalagi sejak diberlakukan UN. Kini,
carut marut tersebut sudah dipatahkan. Dalam hal ini dipatahkan dalam sebuah
kegagalan. Masih hangat kegagalan UN tahun ini bahwa, 33 propinsi di Republik
Indonesia, sepertiganya atau 11 provinsi harus menunda pelaksanaan UN karena
alasan teknis pencetakan soal. Sehingga sudah tak asing terdengar kini, lontaran
“Pertama kali dalam sejarah UN”. Sebelum kegagalan ini terjadi, adakah evaluasi
yang dilakukan pemerintah? Atau pertanyaan yang lebih simpel, apa pemerintah
peduli?
Ilustrasi dikutip dari: kartunmartono.wordpress.com |
Barangkali, bentuk kepedulian pemerintah
untuk mencita-citakan mencerdasakan kehidupan bangsa (tidak) benar-benar
dipegang teguh oleh pejabat pendidikan di Indonesia. Segala “perbaikan” mulai
dari Ujian Negara, menjadi Ujian Sekolah, kemudian EBTANAS, UNAS, hingga
akhirnya UN, merupakan bukti dari ke(tidak)berhasilan format pendidikan.
Barangkali, perkembangan tersebut hanya
berada dalam perkubangan. Cita-cita pendidikan berada dalam kubangan yang entah
sampai kapan akan terus berkubang. Seakan-akan nyaman untuk terus
bermalas-malasan dalam kubangan. Seperti kenyataan berikut: Konon tahun 2009
lalu, Mahkamah Agung (MA) telah meminta pemerintah untuk tidak melaksanakan UN
karena pemerintah dinilai gagal dalam meningkatkan kualitas dan mutu
pendidikan. Tapi, Mendiknas –Mohammad Nuh- meminta agar semua pihak berhenti
memperdebatkan masalah UN. Alasannya, karena pemerintah akan tetap
memberlakukan kebijakan tersebut demi kemajuan dunia pendidikan. UN menurut
beliau (baca: pejabat pendidikan di pemerintahan) menganggap UN mampu mendorong
siswa agar memiliki kompetensi tinggi sehingga mampu bersaing di era
globalisasi. Apakah sudah terealisasi cita-cita tersebut?
UN, Ujian Formalitas
Barangkali, memang ada benarnya
bahwa dengan pelaksanaan UN, mampu mendorong siswa agar memiliki kompetensi
tinggi. Bisa dikatakan, kalau tidak ada UN siswa akan malas belajar. Namun,
sudahkah kita melihat kenyataan bahwa terjadi kekeliruan dalam pelaksanaan UN? Mungkin,
yang sudah merasakan “kursi panas UN” ataupun bahkan yang tidak merasakanpun, juga
mengetahui hal ini. Contoh nyata, siswa yang pandai di kelas, tidak lulus ujian
seperti yang telah hangat diberitakan beberapa dekade lalu. Sebaliknya, siswa
yang tingkat kecerdasannya lebih rendah, malah bisa lulus UN. Apakah tidak
menimbulkan tanda tanya besar? Memang, barangkali terjadi kesalahan yang
sifatnya teknis, misalnya kesalahan dalam pengisian LJK. Namun, di balik faktor
itu, tidak dipungkiri lagi bahwa terjadi ketidak”fair”an dalam pelaksanaan UN. Kesalahan pengawas? Tidak ada yang
bisa disalahkan dalam hal ini. Hanya pelaksanaannya saja yang perlu perhatian
khusus.
Barangkali, kecurangan tersebut
sangat masuk akal dan manusiawi. Bagaimana tidak, pihak sekolah pasti akan
melakukan berbagai “cara” karena tidak ingin menerima citra negatif. Belum lagi
tuntutan kelulusan dari dinas pendidikan daerah setempat untuk mengejar
prestise. Jelas saja, hal tersebut membuka lebar kecurangan yang sistematis
dalam pelaksanaan UN. Intinya, ketika UN, apapun dilakukan dan bagaimanapun
“caranya”. Kenyataan seperti inilah yang sesungguhnya harus disadari
pemerintah.
Desentralisasi UN
Barangkali pemerintah berkeinginan
untuk menciptakan pemerataan dalam sistem pendidikan di seluruh wilayah NKRI.
Seperti yang disebutkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005, bahwa standar
pendidikan nasional adalah kriteria minimal tentang sistim pendidikan nasional
di seluruh wilayah NKRI. Sehingga, UN dilaksanakan serentak (sentralistik). Kita
tahu, bahkan orang awam pun tahu bahwa kualitas siswa, kualitas pengajar,
sarana dan prasarana, tidaklah sama di setiap wilayah. Sehingga, perlu
dipertimbangkan pelaksanaan UN dengan menganut asas Desentralisasi. Desentralisasi
maksudnya di sini dapat dilaksanakan dengan pembuatan soal disesuaikan dengan
kebijakan desentralisasi, sehingga sesuai dengan kualitas sekolah
masing-masing. Namun, walaupun dengan kebijakan desentralisasi, tetap
diperlukan pengawasan dan pendampingan untuk meminimalisir indikasi kecurangan
yang ada di setiap daerah.
Barangkali dapat disimpulkan, jika
pemerintah bersikukuh melakukan UN, berarti pemerintah harus segera menerapkan
format yang benar-benar fair. Jika
pemerintah ingin UN menghasilkan kualitas yang baik, berarti pemerintah harus melengkapi
sarana dan prasarana pendidikan. Jika kekurangan dan persoalan yang telah
disebutkan dapat diatasi, tinggal membenahi kelulusan siswa dengan format ujian
yang akan dilaksanakan. Sehingga, tidak ada kekecewaan dalam dunia pendidikan
di Negara Kesatuan Repubulik Indonesia ini (lagi).
Jika pemerintah belum bisa
memperbaiki format UN, berarti ikhlaskan saja Kemendikbud dihapuskan dalam kursi
pemerintahan Indonesia. Toh segala
perbaikan yang benar menurut beliau (baca: Kemendikbud), tidak benar bagi
masyarakat. Barangkali!
Komentar